21 Januari 2009

Berdzikir Memakai Tasbih

Ada beberapa amalam berupa dzikir atau shalawat yang ditentukan bilangannya. Seperti sehabis shalat wajib disunnahkan membaca "Subhanallah" sebanyak 33 kali. "Alhamdulillah" 33 kali, "Allahu akbar" 33 kali dan "La Ilaha illallah" 100 kali. Demikian pula membaca shalawat nariyah 4444 kali.

Untuk mencapai bilangan itu, biasanya orang-orang memakai tasbih. Ada yang mengklaim bahwa penggunaan tasbih itu adalah bid’ah, sebab tidak ada pada zaman Rasulullah SAW. Lalu bagaimana sebetulnya?

Tasbih dalam bahasa Arab disebut dengan as-subhah atau al-misbahah. Yaitu untaian mutiara atau manik-manik dengan benang yang biasa digunakan untuk menghitung jumlah tasbih (bacaan Subhanallah), doa dan shalawat. Dan ternyata pada masa Rasulullah pemakaian tasbih ini sudah dilaksanakan. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

“Diriwayatkan dari Aisyah binti Sa’d bin Abi Waqash dari ayahnya bahwa dia bersama Rasulullah SAW pernah masuk ke rumah seorang perempuan. Perempuan itu memegang biji-bijian atau krikil yang digunakan untuk menghitung bacaan tasbih. Lalu Rasulullah SAW bersabda:


أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُعَلَيْكِ مِنْ هَذَا أوْ أفْضَلُ فَقَالَ قُوْلِيْ سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَاخُلَقَ فِي السَّمَاءِ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَاخُلِقَ فِي الأرْضِ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَابَيْنَ ذَلِكَ، سُبْحَانَ الله عَدَدَ مَاهُوَ خَالِقٌ، وَاللهُ أكْبَرُمِثْلَ ذَلِكَ‘وَالْحَمْد ُلِلّهِ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَاإلهَ إلَّااللهُ مِثْلَ ذَلِكَ‘وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إلاَّباِللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ مَثْلُ ذَلِكَ


Aku akan memberitahu dirimu hal-hal yang lebih mudah kamu kerjakan atau lebih utama dari menggunakan kerikil ini. Bacalah “Maha Suci Allah” sebanyak bilangan makhluk langit, “Maha Suci Allah” sebanyak hitungan makhluk bumi, “Maha Suci Allah” sebilangan makhluk antara langit dan bumi, “Maha Suci Allah” sebagai Sang Khaliq. “Segala Puji Bagi Allah” seperti itu pula (bilangannya), “Tiada Tuhan Selain Allah” seperti itu pula, ”Allah Maha Besar” seperti itu pula, dan ”Tidak Ada Upaya dan Kekuatan Seian dari Allah” seperti itu pula." (HR Tirmidzi)

Menomentari hadits ini Abi al-Hasanat Abdul Hayyi bin Muhammad Abdul Halim al-Luknawi dalam Nuzhah al-Fikri fi Sabhah ad-Dzikr mengatakan, Rasulullah SAW tidak mengingkari apa yang dilakukan wanita itu. Hanya saja beliau bermaksud untuk memudahkan dan meringankan wanita itu serta memberi tuntutan bacaan yang umum dalam tasbih yang memiliki keutamaan yang besar.

Bertolak dari pendapat ini, kami bisa memahami bahwa para sahabat sudah biasa menggunakan biji-bijian atau kerikil untuk mempermudah di dalam menghitung dzikir-dzikir yang dibaca sehari-hari. Dan hal itu ternyata tidak pernah dipungkiri oleh Rasulullah SAW.

Ini membuktikan bahwa Nabi mengamini (setuju) terhadap apa yang dilakukan oleh para Sahabat itu. Oleh sebab itu, memakai tasbih dalam berdzikir bukannya bid’ah dhalalah (hal baru yang menyesatkan) sebagaimana yang diklaim oleh beberapa orang selama ini. Sebab jika memang menggunakan tasbih itu termasuk hal-hal yang menyesatkan niscaya sejak awal Rasul sudah melarang para sahabat untuk memakainya.


KH Muhyiddin Abdushomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember

19 Januari 2009

PERSENTUHAN KULIT ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN MEMBATALKAN WUDLU

Persentuhan kulit antara laki-laki dengan perempuan dengan tanpa penghalang dan diantara keduanya bukan mahram dapat membatalkan wudlu, baik yang menyentuh maupun yang disentuh. Di dalam surat An-Nisa’ ayat 43 disebutkan :
Yang Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”.
Imam Malik di dalam kitab Al-Muwatha’ halaman 31 hadits nomor 97 menyebutkan :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ اَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ : قُبْلَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَجَسُّهَا بِيَدِهِ مِنَ الْمُلاَمَسَةِ، فَمَنْ قَبَّلَ امْرَأَتـَهُ اَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوْءُ. رواه مالك.
Artinya : “Dari Abdullah bin Umar beliau berkata : Ciuman seorang lelaki terhadap istrinya dan menyentuh dia dengan tangannya adalah termasuk “mulamasah”, maka barangsiapa mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangannya, maka dia wajib berwudlu”. (HR. Imam Malik.)
Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits :
عَنْ حَبِيْبِ بْنِ اُبَىِّ ثَابِتٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا اَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ اِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّاءَ. رواه احمد.
Artinya : “Dari Habib Ibnu Abi Tsabit dari Urwah dari Siti ‘Aisyah R,a, bahwasannya Nabi Saw mencium sebagian istrinya, kemudian beliau keluar pergi shalat dan beliau tidak berwudlu’ lebih dahulu” HR.Imam Ahmad.
Hadits ini ditentang oleh Imam Tirmidzi dalam bukunya :
وَقَالَ التِّرْمِذِىُّ سَمِعْتُ مُحَمَّدْ اِسْمَاعِيْلُ الْبُخَارِىُّ يُضَعِّفُ هَذَا الْحَدِيْثَ.وَاَبُوْ دَاوُدَ اَخْرَجَهُ مِنْ طَرِيْقِ التَّيْمِىِّ عَنْ عَائِشَةَ وَلَمْ يَسْمَعْ مِنْهَا شَيْئًا فَهُوَ مُرسَلٌ .
Artinya : “ Dan Imam Tirmidzi berkata : Aku telah mendengar Muhammad Ismail Al- Bukhari men-dla’ifkan hadits ini. Dan meriwayatkan pula Abu Dawud dari jalan sanad At-Taimiy dari ‘Aisyah, dan ia ( At-Taimiy ) tidak mendengar sedikitpun dari ‘Aisyah, maka hadits ini Mursal.
Hadits Mursal ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang Tabi’in yang langsung menyebut hadits langsung dari Nabi SAW, dengan tidak menyebut nama orang yang menceritakan kepadanya.
Karena itu, para Ulama ahli ilmu Hadits sepakat bahwa hadits Mursal tidak boleh dijadikan pedoman hukum.
Adapun Hadits yang dijadikan landasan bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan wanita itu tidak membatalkan wudlu’, yaitu :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : كُنْتُ اَنَامُ بَيْنَ يَدَىْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَىَّ فِى قِبْلَتِهِ فَاِذَا سَجَدَ غَمَزَنِى فَقَبَضْتُ رِجْلَىَّ فَاِذَا قَامَ بَسَطْتُهَا. (رواه البخارى)
Artinya : “Dari ‘Aisyah Ra, berkata : adalah aku tidur di hadapan Rasulullah Saw, dan kakiku di arah kiblat beliau, apabila beliau sujud ia memijit kakiku ( dengan tangan beliau ), maka aku tarik kakiku, dan apabila beliau telah berdiri, aku luruskan kembali kakiku”. HR. Bukhariy. Shahih Bukhariy juz I halaman 131.
Hadits ini mengandung beberapa kemungkinan (Ihtimal). Mungkin saja dalam peristiwa itu, Nabi SAW memijit kaki Siti ‘Aisyah yang ditutupi selimut, atau pakai kaos kaki, atau juga pakai celana panjang. Karena dalam hadits ini tidak ada indikasi (qarinah) yang menerangkan bahwa tangan Nabi SAW menyentuh kulit kaki Siti ‘Aisyah.
Di dalam kaidah Ushul Fiqih di sebutkan :
اَلدَّلِيْلُ اِذَا طَرَقَهُ اْلإِحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ اْلإِسْتِدْلاَلُ
Artinya : “Dalil-dalil yang jalannya mengandung Ihtimal (boleh jadi) tidak boleh di pakai lagi menjadi dalil”.
KESIMPULAN
Menurut Madzhab Syafi’I persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya (termasuk antara suami istri) tanpa pelapis (hail) adalah membatalkan wudlu.

18 Januari 2009

PUJI-PUJIAN SETELAH ADZAN

PUJIAN SETELAH ADZAN
Kita disunahkan memperbanyak dzikir kepada Allah SWT, membaca tasbih, tahmid, takbir dan lain-lainnya dari berbagai macam dzikir, dan doa-doa, terutama ketika di dalam masjid.
Allah SWT, bersabda di dalam surat An-Nur ayat 36:
Artinya : Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang Telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, 37. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah (dzikir), dan (dari) mendirikan sembahyang, ……
Di dalam masjid hendaknya asma Allah senantiasa di sebut pagi dan petang. Demikianlah pengertian dari ayat di atas. Oleh karena itu sebaiknya puji-pujian itu berupa kalimat-kalimat yang mengandung dzikir, tasbih, takbir, tahlil, shalawat dan doa-doa dengan irama yang santun, terutama setelah adzan dikumandangkan.
Ada beberapa hadits Nabi Saw, yang menyebutkan bahwa, doa-doa yang di baca sesudah adzan dan sebelum iqamat itu mustajabah (dikabulkan Allah).
Adapun hadits-hadits itu ialah :
عَنْ أَنَسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلدُّعَاءُ لاَيُرَدُّ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَاْلإِقَامَةِ. رواه احمد وابوداود والترمذى والنسائى وابن حبان.
Artinya : “Dari Anas r.a, bersabda Rasulullah Saw : Tidak akan di tolak doa di antara adzan dan iqamah”. HR. Ahmad – Abu Dawud – At-Turmudzi – An.Nasa’i dan Ibnu Hibban. ( Hadits shohih ).
عَنْ أَنَسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلدُّعَاءُ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَاْلإِقَامَةِ مُسْتَجَابٌ فَادْعُوْا. رواه ابو يعلى حديث صحيح.
Artinya : “Dari Anas r.a, bersabda Rasulullah Saw : Doa diantara adzan dan iqamah itu dikabulkan, maka berdoalah kalian”. HR. Abu Ya’la ( hadits shahih ).
KESIMPULAN :
Pujian setelah adzan hukumnya sunnah.

SHALAT ’ID YANG BAIK DIMANA ?

Dalam hal pelaksanaan shalat ‘Id, Rasulullah SAW pernah melaksanakan di mushalla (lapangan) dan pernah pula melaksanakannya di masjid, sebagaimana banyak dijelaskan dalam hadits-hadits, yang antara lain sebagai berikut :
1. Riwayat Imam Bukhari, hadits nomor 956
عَنْ اَبِي سَعِيْد الخدري قال : كَانَ النَّبِيُّ صَلََّّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ وَالاضْحَى اِلَى الْمُصَلَّى فأوَّلُ شَيْءٍ يبَدْأَ ُبِهِ الصَّلاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابَلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوْصِيْهِمْ وَيأمرُهُم فَإنَ كانَ يريْدُ ان يقْطعَ بعثا قَطعَهُ او يَأمُر بشيءٍ يأمُر بِهِ ثم ينصرف ...
Artinya : Dari Abi Said Al-Khudry, beliau berkata : Bahwa pada hari raya Fitri dan hari raya Adlha .....
2. Riwayat Imam Muslim, hadits nomor 2055
عَنْ اَمِّ عطية قالت : اَمَرَنَا رَسُوْلُ الله صَلََّّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ نُخْرِجَهُمْ في الفِطْرِ والأضْحَى العَوَاتِقَ والحيض وذوات الحذور ....
3. Riwayat Imam Abu Dawud, hadits nomor 1136
عن ام عطية قالت : امرنا رسول الله صَلََّّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ نُخْرِجَ ذَوَاتِ الحذُوْرِ يَوْمَ العِيْدِ قِيْلَ فالحَيْضُ ؟ قَالَ لِيَشْهَدْنَ الخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قَالَ فقَالَتْ اِمْرَأَةٌ يَا رَسُوْلَ الله اِنْ لَمْ يكُنْ لاِحْدَاهُنَّ ثَوْبٌ كَيْفَ تَصْنَعُ ؟ قَالَ تُلْبِسُهَا صَاحِبَتُهَا طَائِفَةًً مِنْ ثَوْبِهَا
4. Riwayat Imam Abu Dawud, hadits nomor 1160
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّهُ اَصَابَهُمْ مَطَرٌ يَوْمَ عِيْدٍ فَصَلَّى بِهِمُ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعِيْدِ فِى الْمَسْجِدِ. رواه ابو داود.
Artinya : “Dari Abu Hurairah, bahwasannya terjadi hujan pada hari raya, maka Nabi Saw, shalat ‘Id bersama-sama di masjid”. HR. Abu Dawud.
5. Riwayat Imam Ibnu Majah, hadits nomor 1313
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : اَصَابَ النَّاسَ مَطَرٌ فِى يَوْمِ عِيْدٍ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ًصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى بِهِمْ فِى الْمَسْجِدِ. رواه ابن ماجه.
Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata : terjadi hujan pada orang-orang di hari raya pada masa Rasulullah Saw, maka beliau shalat ‘Id bersama mereka di dalam masjid”. HR.Ibnu Majah.
Lalu, lebih afdhal manakah antara melaksanakan shalat ‘Id di lapangan dengan di masjid? Untuk menjawab pertanyaan ini, hendaklah dilakukan kompromi (al-jam’u) antara dalil-dalil yang nampak berlawanan tersebut.
Kalau diteliti, dalam hadits-hadits tersebut terdapat illatnya masing-masing. Yaitu :
1. Dalam rangka melaksanakan shalat ‘Id itu, Rasulullah SAW memerintahkan agar menggerakkan atau melakukan mobilisasi seluruh komponen masyarakat muslim termasuk para hamba sahaya, wanita (yang pada hari biasa tidak dianjurkan ke masjid), serta wanita-wanita yang sedang haidl (menstruasi). Hal ini seperti ditunjukkan teks hadits yang berbunyi “ امرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ان نخرجهم “. Pelaksanaannya di lapangan, sebab masjid tidak mampu menampung seluruh jamaah kaum muslimin.
2. Ketika situasi dan kondisi tidak memungkinkan untuk memobilisasi seluruh komponen masyarakat, maka Rasulullah SAW melaksanakannya di masjid, karena masjid masih mampu menampung jamaah yang hadir. Hal ini ditunjukkan oleh teks hadits yang menyatakan bahwa ketika hujan Rasulullah SAW melaksanakan shalat ‘id di masjid, seperti dijelaskan hadits riwayat Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah di atas. Padahal meskipun di masjid, para jamaah tetap kehujanan karena kondisi masjid pada waktu itu belum berupa gedung yang beratap rapat seperti sekarang ini.
Dengan memahami illat dari masing-masing hadits tersebut, dapat disimpulkan bahwa melaksanakan shalat ‘id itu lebih utama (afdhal) di masjid jika masih memungkinkan untuk menampung jamaah yang hadir. Disamping itu masjid lebih terjaga kesuciannya dan dimuliakan masjid di sisi Allah SWT. Allah berfirman dalam Surat At-Taubah : 18 :
Yang artinya : “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, emnunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Oleh karena itu, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Subulus Salam, para ulama’ seperti Imam Syafi’i, Imam Yahya dan sekelompok ulama’ lainnya menetapkan bahwa shalat ‘id di masjid lebih afdhal apabila masjid itu luas (masih bisa menampung jamaah), maka hendaklah tetap tidak keluar dari masjid itu. Dan dengan alasan itulah penduduk Makkah tidak keluar ke lapangan karena masjid masih bisa menampung jamaahnya.
Dalam kitab Kifayatul Akhyar dijelaskan, bahwa pendapat yang betul adalah masjid lebih utama.
KESIMPULAN :
1. Bahwa melaksanakan shalat ‘id itu lebih utama (afdhal) di masjid jika masih memungkinkan untuk menampung jamaah yang hadir.
2. Masjid lebih terjaga kesuciannya dan dimuliakan di sisi Allah SWT.

BERDOA DENGAN MENGANGKAT TANGAN

MENGANGKAT TANGAN KETIKA BERDOA
Berdoa merupakan salah satu perintah Allah SWT. Dalam berdo’a tentu ada tata caranya. Di antara tata cara tersebut adalah mengangkat tangan kemudian diakhiri dengan mengusap wajah dengan kedua tangan. Hadits Nabi yang mendasari tentang mengangkat tangan itu banyak sekali hingga mencapai tingkat mutawatir. Imam Nawawi mengatakan :
قََدْ جَمَعْتُ فِيْهَا نَحْوًا مِنْ ثَلاثِيْنَ حَدِيْثًا مِنَ الصَحِيْحَيْنِ أوْ أحَدِهِمَا
“Saya telah mengumpulkan dalam hal (mengangkat tangan ketika berdoa) itu sekitar 30 hadits shahih dari Bukhari Muslim atau salah satunya”
Dalam praktik doa ketika Nabi SAW mendoakan ummatnya dijelaskan bahwa Nabi SAW membaca firman Allah azza wa jallaرَبِِّ إِنََّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيْرًامِنَ النٌَاسِ.. kemudian ayatإِنْ تُعَذِّبْهُمْ ... sampai فَإنٌَكَ أنْتَ العَزِيْزُ الحَكِيْمُ kemudian beliau mengangkat kedua tangannya dan berdoa اللهمٌ أمٌَتِيْ أمٌَتِيْ ... ...
Di samping itu banyak pula hadits lain, bahkan Imam At Thabrani menulis kitab Ad Du’a’ yang memuat banyak hadits tentang hal ini (berdoa dengan mengangkat tangan). Diantaranya Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dari shahabat Umar RA :
أنٌَ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ إذَا دَعَا رَفَعَ بَاطِنَ كَفٌَيْهِ إلَى السٌَمَاءِ وَلا يَرُدٌهُمَا حَتٌَى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
Artinya : “ Sesngguhnya Rasulullah SAW apabila berdoa beliau mengangkat kedua telapak tangannya kearah langit dan beliau tidak menurunkannya sebelum mengusapkan keduanya ke wajah beliau”
Dari shahabat Walid ban Abdullah bahwasanya Nabi SAW bersabda :
إذَا رَفَعَ أحَدُكُمْ يَدَيْهِ يَدْعُوْ فَإِنٌَ اللهَ عز و جل جَاعِلٌ فِيْهِمَا بَرَكَةً وَرَحْمَةً فَإذَا فَرَغَ مِنْ دُعَائِهِ فَلْيَمْسَحْ بِهِمَا وَجْهَهُ
Artinya : “ Apabila salah seorang dari kamu mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, maka sesungguhnya Allah azza wa jalla menjadikan baerakah dan rahmat pada kedua tangan itu. Maka apabila orang itu selesai dari doanya maka hendaklah dia mengusapkan wajahnya dengan kedua tangan itu”
Lalu bagaimana dengan hadits riwayat Anas yang mengatakan bahwa Nabi SAW tidak mengangkat tangan ketika berdoa selain dalam shalat istisqa’, yaitu :
عَنْ أنَسٍ أنٌَ نَبِيٌَ الله صلى الله عليه وسلم كَانَ لا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِيْ شَيْئٍ مِنْ دُعَائِهِ إلاٌ فِي الإسْتسِقَاءِ حَتٌَى يُرَى بَيَاصُ إبْطَيْهِ
“ Dari Anas bahwasanya Nabiyullah SAW tidak mengangkat tangannya pada waktu berdoa kecuali dalam shalat istisqa’ sehingga terlihat putih di ketiaknya”
Hadits ini bukan meniadakan atau melarang mengangkat tangan dalam berdoa selain dalam shalat istisqa’. Akan tetapi menjelaskan bahwa ketika berdoa dalam shalat istisqa’ Nabi SAW mengangkat tangannya lebih tinggi dari pada ketika selain shalat istisqa’, sehingga sampai kelihatan ketiaknya. Hal ini seperti dijelaskan oleh As Shun’ani dalam kitab Subulus Salam dengan mengutip pendapat Imam Nawawi dalam Syarah Al Muhadzdzab, sebagai berikut :
وَأمٌَا حَدِيْثُ أنَسٍ فِيْ نَفْيِ رَفْعِ اليَدَيْنِ فِيْ غَيْرِ الإسْتِسْقَاءِ فَالْمُرَادُ بِهِ نَفْيُ الْمُبَالَغَةِ لا نَفْيُ أصْلِ الرٌفْعِ
Artinya : ” Adapun hadits Anas yang meniadakan mengangkat tangan dalam selain shalat istisqa’ itu maksudnya meniadakan penyangatan, bukan meniadakan substansi mengangkat tangan ”
Dengan kata lain, dalam doa shalat istisqa’ itu Rasulullah SAW menunjukkan sikap ibtihal (ekspresi kesungguhan berdoa dengan mengangkat tinggi kedua tangan). Sedangkan dalam selain shalat istisqa’ tidak menunjukkan sikap ibtihal. Tentang mengangkat tangan dan ibtihal ini dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas riwayat At Thabrani sebagai berikut :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: هَكَذَا الإخْلاصُ يُشِيْرُ بِأُصْبُعِهِ الٌتِيْ تَلِيْ الإبْهَامَ وَهَذَا الدٌُعَاءُ فَرَفَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَهَذَا الإِبْتِهَالُ فَرَعَ يَدَيْهِ مَدًّا
Artinya : ” Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: beginilah ikhlas seraya beliau memberi isyarat dengan jari telunjuknya, dan beginilah doa lalu beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan beginilah ibtihal maka beliau mengangkat tinggi kedua tangannya ”
Mendasar kepada dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa disunnahkan mengangkat kedua tangan ketika berdoa, kemudian mengusapkan kedua tangan itu ke wajah, kecuali dalam doa qunut atau doa ketika shalat tidak disunnahkan mengusapkan kedua tangan ke wajah. Lebih lanjut dalam kitab Al Bajuri dijelaskan sebagai berikut : Disunnahkan mengangkat kedua tangan ketika membaca doa qunut dan menjadikan telapak tangan bagian dalam mengarah ke langit pada saat mengharap suatu permohonan yang baik, dan membalikkannya ketika mengharap hilangnya keburukan (mushibah). Demikian pula pada seluruh doa (baik qunut maupun bukan). Dan tidak disunnahkan mengusap wajah selesai doa dalam shalat (qunut) bahkan lebih utama meninggalkannya. Berbeda ketika berdoa di luar shalat, maka disunnahkan mengusap wajah bukan mengusap dada.
Dalam hadits riwayat Imam Ahmad dijelaskan sebagai berikut :
كَانَ إذَا سَألَ اللهَ جَعَلَ بَاطِنَ كَفٌَيْهِ إلَيْهِ وَإذَا اسْتَعَاذَ جَعَلَ ظَاهِرَهُمَا إلَيْهِ (رواه أحمد في مسنده)
Artinya : “ Apabila memohon kepada Allah, beliau (Nabi SAW) mengarahkan telapak tangannya (bagian dalam) ke arahnya, dan apabila memohon perlindungan beliau mengarahkan telapak tangannya (bagian luar) ke arahnya “
KESIMPULAN :
1. Hukum mengangkat tangan dalam berdoa adalah SUNNAH.
2. Ketika memohon kebaikan tapak tangan menghadap ke wajah, dan ketika memohon perlindungan membalikkan tapak tangan.
3. Setelah berdoa disunnahkan mengusapkan kedua tapak tangan ke wajah, kecuali dalam doa qunut.

WIRIDAN SETELAH SHALAT 5 WAKTU

WIRID-DZIKIR SETELAH SHALAT
Diriwayatkan dari Sahabat Tsauban, ia berkata; bila usai mengerjakan shalat, Rasulullah SAW membaca istigfar 3 kali
أسْتَغْفِرُاللهَ العَظِيْمِ
lalu membaca:
اللّهُمَّ أنْتَ السَلام وَمِنْكَ السَّلام تَبَارَكْتَ يَاذَا الجَلالِ وَالإكْرَامِ
(HR Muslim)
Hadits lain yang diriwayatkan Abu Hurairah RA :
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَْهُ قَالَ، قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ يَا رَسُوْلَ الله ذَهَبَ اَصْحَابُ الدُثُوْرِ بِالاُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ وَلَهُمْ اَمْوَالٌ يَتَصَدَّقُوْنَ بِهَا وَلَيْسَ لَنَا مَالٌ نَتَصَدَّقُوْنَ بِهِ فَقَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يَا أَبَا ذَرٍّ أَلاَ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ تُدْرِكُ بِهِنَّ مَنْ سَبَقَكَ وَلاَ يَلْحَقُكَ مَنْ خَلْفَكَ إِلاَّ مَنْ أَخَذَ بِمِثْلِ عَمَلِكَ قَاَل بَلَى يَا رَسُوْلَ الله قَالَ تُكَبِّرُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاثاً وَثَلاثِيْنَ وَتَحْمَدُهُ ثَلاثاً وَثَلاثِيْنَ وَتُسَبِّحُهُ ثَلاَثاً وَثَلاثِيْنَ وَتَخْتِمُهَا بِلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. غُفِرَتْ لَهُ ذُنُوْبُهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ ( رواه ابو داود)
Artinya : “Dari Abu Hurairah RA, bahwa Abu Dzar RA bertanya kepada Rasulullah SAW. “Wahai Rasulullah orang-orang kaya mempunyai banyak pahala. Mereka melaksanakan shalat sebagaimana kami mendirikan shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka, namun kami tidak memiliki harta yang dapat kami sedekahkan”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Dzar maukah aku ajarkan kepadamu beberapa kalimat yang bisa menyamakan derajatmu dengan orang-orang yang mendahuluimu, dan orang-orang yang datang sesudahmu tidak akan dapat menyamaimu kecuali kalau mereka juga membaca kalimat itu. Abu Dzar menjawab “Iya wahai Rasulullah.” Maka kemudian Rasulullah bersabda, “Hendaknya kamu membaca takbir 33 kali, tahmid 33 kali, tasbih 33 kali setiap setelah shalat, kemudian diakhiri dengan bacaan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ (la ilaha illallah wahdahu la syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syaiin qadir) maka dosa-dosanya akan diampuni meskipun seperti buih dilautan.”
Hendaknya, memang, wiridan tidak dibaca terlalu keras jika masih ada yang mengerjakan shalat atau tidur agar tidak mengganggu. Akan tetapi sudah menjadi kebiasaan di pesantren santri yang terlambat melalukan shalat (makmum masbuq) tidak terlalu banyak, dan tetap mengucapkan wirid dengan suara keras akan sangat bermanfaat buat santri yang lainnya, Para ulama membolehkan imam membaca wirid atau doanya dengan suara keras bila imam bermaksud mengajarkannya kepada para santri atau makmum. (Lihat Mughnil Muhtaj I, hal 182).
Dikisahkan, Sahabat Umar bin Khattab selalu membaca wirid dengan suara lantang, berbeda dengan Sahabat Abu Bakar yang wiridan dengan suara pelan. Suatu ketika nabi menghampiri mereka berdua, dan nabi lalu bersabda: Kalian membaca sesuai dengan yang aku sampaikan. (Lihat al-Fatâwâ al-hadîtsiyah, Ibnu Hajar al-Haitami, hal 65).
Berdzikir (wiridan) dengan suara keras (jahr), setelah shalat maktubah atau shalat sunah, menurut kesepakatan (ijma’) para Ulama’ hukumnya sunah, karena hal itu sudah menjadi kebiasaan Rasulullah Saw, sebagaimana yang di terangkan dalam hadits-haditsnya :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ اَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ اَعْلَمُ اِذَا انْصَرَفُوْا بِذَلِكَ اِذَا سَمِعْتُهُ. رواه البخارى ومسلم
Artinya : “ Dari Ibnu Abbas r.a, ia menceritakan : bahwa sesungguhnya mengeraskan suara dengan dzikir ketika orang-orang selesai shalat fardlu itu sudah terjadi sejak zaman Rasulullah Saw. Ibnu Abbas menjelaskan lagi; aku dapat mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat, demikian itu kebetulan aku mendengarnya”. HR. Imam Bukhari.
اَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ اَخْبَرَهُ اَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ لِلذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ ذَلِكَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَتَ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ : كُنْتُ اَعْلَمُ اِذَا انْصَرَفُوْا بِذَلِكَ وَاَسْمَعُهُ . رواه ابوداود.
Artinya : “Sesungguhnya Ibnu Abbas menceritakan, bahwa mengeraskan suara untuk dzikir ketika orang-orang selesai shalat fardlu itu adalah sudah terjadi sejak zaman Rasulullah Saw. Kata Ibnu Abbas : aku ketahui yang demikian itu ketika mereka selesai shalat dan aku juga mendengarnya “. HR. Imam Abu Dawud.
BACAAN DZIKIR YANG DIBACA RASULULLAH SAW.
Dzikir atau wirid yang di contohkan oleh Rasulullah SAW banyak sekali, namun di sini akan kami nukilkan beberapa hadits dzikir Rasulullah SAW yang sudah biasa diamalkan oleh kaum muslimin / nahdliyyin, diantaranya :
عَنْ اَبِى عَمْروٍ بْنِ مُرَّةَ قَالَ : سَمِعْتُ بِلاَلَ بْنِ يَسَارٍ بْنِ زَيْدٍ مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَمِعْتُ اَبِى يُحَدَّثَنِيْهِ عَنْ جَدِّى اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَنْ قَالَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِى لاَإِلَهَ اِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ، غُفِرَ لَهُ وَاِنْ كَانَ فَرَّ مِنَ الزَّحْفِ. رواه ابوداود.
Artinya : “ Dari Abu Amrin bin Murrah ia berkata : aku mendengar Bilal bin Yasar bin Zaid anak angkat Nabi Saw, ia berkata ; aku mendengar ayahku menceritakannya dari kakekku bahwasannya ia mendengar Rasulullah Saw, bersabda :”Barangsiapa mengucapkan:
َ أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِى لاَإِلَهَ اِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ (aku memohon ampunan Allah, yang tiada Tuhan kecuali Dia, Yang Maha hidup Yang berdiri sendiri dan aku taubat kepada-Nya ), maka diampunilah dosanya sekalipun (dosa) lari dari musuh”. HR. Imam Abu Dawud
عَنْ ثَوْبَانَ : اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلاَتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ يَقُوْلُ "اَللهُمَّ اَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَاذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ". رواه ابن ماجه.
Artinya : “Dari Tsauban berkata ; bahwa Rasulullah SAW, apabila selesai dari shalatnya membaca Istighfar tiga kali kemudian mengucapkan : اَللهُمَّ اَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَاذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ. HR. Imam Ibnu Majah.
عَنِ الْمُغِيْرَةَ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. رواه مسلم
Artinya : “Dari Mughirah bin Syu’bah, bahwa Rasulullah Saw, apabila selesai dari shalatnya dan salam mengucapkan : “لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ (Tiada Tuhan melainkan Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagiNya puji-pujian dan Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu )”. HR. Imam Muslim.
عَنْ عَلِىٍّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ قَرَأَ أَيَةَ الْكُرْسِيِّ فِى دُبُرِ الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ فِى ذِمَّةِ اللهِ اِلَى الصَّلاَةِ اْلأُخْرَى . رواه الطبرانى باءسناد حسن.
Artinya : “Dari ‘Ali r.a, sesungguhnya Nabi Saw, bersabda : Barangsiapa membaca ayat Kursiy setelah selesai shalat fardlu (maka) dia dalam penjagaan Allah sampai pada shalat yang lain”. HR. Imam Thabrani, dengan sanad yang bagus.
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ٌقَالَ : مَنْ سَبَّحَ اللهَ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَحَمِدَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَكَبَّرَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ تِلْكَ تِسْعٌ وَتِسْعُوْنَ ثُمَّ قَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ غُقِرَتْ لَهُ خَطَايَاهُ وَاِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ. رواه احمد والبخارى ومسلم وابو داود.
Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda : Barangsiapa membaca tasbih (سبحان الله) setiap selesai shalat 33 kali dan bertahmid (الحمد لله) 33 kali dan bertakbir (الله اكبر) 33 kali, maka yang demikian itu berjumlah 99 kali, kemudian mengucapkan (لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ), sebagai sempurnanya 100 kali, maka diampunilah kesalahannya (dosanya) sebanding buih lautan”. HR. Imam Ahmad, Imam Bukhariy, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud.
KESIMPULAN :
Hukum wiridan setelah shalat fardlu adalah sunnah, berdasarkan hadits-hadits yang telah disebutkan diatas.

10 Januari 2009

3 LANGKAH RIZKI MELIMPAH DAN BERKAH



SUGIH DUIT.
Siapapun orangnya pasti (insya'allah) pengen sugih duit, kaya uang, bisa cepet pergi haji, punya rumah bagus, dan mobil bagus serta banyak amal. Yang namanya orang kaya ialah orang yang sudah tidak membutuhkan apa-apa, karena sudah kaya sudah cukup.
Agar kita bisa kaya dan berkah kekayaan kita, maka kita harus melaksanakan segala yang telah diperintahkan oleh ALLAH swt. Pertama kita harus berusaha, ikhtiar yaitu dengan bekerja. Yang kedua kita harus terus dan selalu berdoa, memohon kepada Allah agar dilapangkan rizkinya. Ketiga kita pasrahkan, kta serahkan keputusannya kepada Allah swt agar menjadi berkah. Dan yang keempat setiap kiota mendapat rziqi, jangan lupa kita sedekahkan (DIZAKATI) 2.5 % atau 5 % atau 10 % terserah yang penting setiap ANDA mendapat rizki sedekahkan kepada Anak-anak yatim, fakir miskin, membantu pendidikan anak terlantar dan lain-lain yang membutuhkan.
Langkah-langkah meraih rizki :
1. Sholat Dhuha minimal 2 rakaat. (Baca buku Rahasia Shalat Dhuha)
2. Membaca surat Al-Waqi'ah sehari minim satu kali atau dua kali setiap selesai shalat shubuh dan maghrib. Dan setelah membaca surat Al-Waqiah berdoa :
اللهُمَّ يَا اَحَدُ يَا وَاحِدُ يَامَْوجُوْدُ يَا جَوَّادُ يَا بَسِيْطُ يَا كَرِيْمُ يَا وَهَّابُ يَا ذَا الطَّوْلِ يَا غَنِيُّ يَا مُغْنِي يَا فَتَّاحُ يَا رَزَّاقُ يَا عَلِيْمُ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ
اللهُمَّ يَا حَمِيْدُ يَا مُبْدِئُ يَا مُعِيْدُ يَا رَحِيْمُ يَا وَدُوْدُ أَغْنِنِي بِحَلالِكَ عَنْ حَرَمِكَ وَاغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ وَاحْفَظْنِي بِمَا حَفِظْتَ بِهِ الذِّكْرَ وَانْصُرْنِي بِمَا نَصَرْتَ بِهِ الرُّسُلَ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَئٍْ قَدِيْر
(Baca buku Rahasia Surat Al-Waqi'ah)
3. Membaca sholawat kepada Nabi. Bacaan shalawatnya bebas artinay Anda memilih yang panjang silahkan, memilih yang pendek silahkan, yang penting sehari se malam jangan sampai kurang dari seribu kali (1000 kali).
Boleh membaca sholawat yang pendek seperti ini :صَلَّى الله عَلَى مُحَمَّدْ (Baca Buku Fadhilah Sholawat kepada Nabi)

KLIK Juga ini :

http://www.formulabisnis.com/?id=albaroni
atau ini :

09 Januari 2009

MESIN PENCETAK UANG

Apakah anda ingin bisa cepat pergi haji ? punya mobil, rumah dan properti lainnya? klik disin

SOROGAN

Sorogan adalah istilah yang biasa dipakai dalam dunia pendidikan di pondok pesantren salafiyah. Salafiyah adalah kebalikan dari modern. Pondok Modern seperti Gontor Ponorogo.
Pondok Pesantren, selanjutnya disebut ponpes, yang Salafiyah banyak sekali, karena memang pertama kali ponpes berdiri masih berbentuk salafiyah. Yang pertama kali membuka ponpes adalah Sunan Ampel (salah satu wali songo yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa) yang nama aslinya Raden Rahmatullah beliau mendirikan ponpes di daerah Ampel denta Surabaya, maka beliau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel.Ponpes salafiyah di tanah Jawa seperti Ponpes Lirboyo, Ponpes Ploso, Ponpes Bendo Pare semuanya di Kediri. Ponpes MUS di Sarang Rembang, Ponpes Roudlotut Thalibin Rembang Jawa Tengah. Ponpes Syaekhona Kholil di Bangkalan Madura. Ponpes Salafiyah di Situbondo Jatim, Ponpes Blokagung Jajag Banyuwangi dan masih banyak lagi.
Menurut data depag jumlah Ponpes di Indonesia ada 12 ribu lebih. Semuanya mempunyai model pendidikan sendiri-sendiri. Tetapi metode sorogan masih banyak dipakai dibeberapa ponpes salaf, walaupun salafiyah sudah menggunakan klasikal. Walaupun materinya masih salafiyah, tetapi sudah di kelas-kelas dan berjenjang. Ada tingkat Ibtidaiyah atau Ula, ada tingkat Tsanawiyah atau wustho dan ada tingkat Aliyah atau Ulya.
Dari sini bisa dipahami, bahwa yang dinamakan ponpes salafiyah adalah ponpes yang hanya mengajarkan materi kitab-kitab salaf atau kitab kuning, tidak ada materi umum.
Pengertian sorogan adalah model pembelajaran dengan cara murid yang aktif, yaitu murid menghadap guru dengan membawa kitab yang sudah ditentukan, kemudian murid membaca kitab tadi dan guru menyimaknya. Apabila ada kesalahan dalam membaca baik segi nahwunya, shorofnya maupun memberi maknanya, maka guru baru menegurnya dan membetulkannya.
Maka dalam metode sorogan, seorang murid harus mempersiapkan diri sebelum menghadap guru, karena kadang-kadang seorang guru menanyakan kepada murid "kenapa ini kamu baca dlommah, "